Masa lalu menyerpih menjadi debu
Badainya
terhubung ke hari-hari itu.
Dari
pelarian ke pelarian yang menyesakkan,
Mataku
hanya terarah ke menara langit.
Ada
cahaya yang menusuk-nusuk mata
Dan
memijit-mijit nyawa tapi tak kukenal.
Cahaya
yang tak pernah melahirkanku.
Lemak di bawah sayap merpati
tak
lebih kental dari dendam
yang
tertimbun di bawah kulitku.
Seperti
seorang kanak-kanak
yang
gemetar dengan perut lapar
nekat
mencuri sepotong roti manna,
hasrat
adalah binatang paling purba
dan
dalam diriku ia bertahun-tahun berkelana.
Bunyi
nyaring yang kutangkap dari kecapi
dan
gema dari tambur hanya jadi gaung
jika
kepongahan telah menembus taring malam
dan
memecah kesunyian ladang gandummu.
Yang
bersuara dalam diriku
lebih
cerlang dari emas dan permata
yang
menghiasi tubuh ratu Mesopotamia.
Sebab
saban hari ia hanya berseru:
“Harta!
Harta! Harta!
Seberapa
kaya alam negeri ini
Sebanyak
itulah pundi-pundi emasku.
Tahta.
Tahta. Tahta.
Seberapa
deras sungai mengairi
jantung
negeri ini, itulah wibawaku.
Kuasa.
Kuasa. Kuasa.
Seberapa
kuat akar pohon ara mengikat dunia
sekuat
itulah cengkeramanku akan pendudukku.”
Negeri
mahsyur negeriku luhur.
Jika
saja ia tunduk kepadaku
ia
kan bisa meminum anggur
terbaik
di tanah Yudea.
jika
saja ia mengabdi padaku
dan
memberikan hormatnya.
Yudea,
o, Kekasih Dunia,
kekallah
dalam tanganku.
Telah
kupenuhi lumbung dan piala
dengan
gandum dan hasrat yang nyala,
Telah
kuisi sumur dan tempayan
dengan
lambang-lambang keperkasaan
Tapi
o, jangan sekali-kali kau meragukan kuasaku!
Jangan
sampai aku mengendus bangkai
tak
peduli dalam kemah atau dalam bait suci.
Aku
akan memurnikannya dengan seluruh
ketakutan
dan trauma dari sumsummu!
Jangan
seperti keingintahuan sia-sia para majusi,
Yang
hidup bertahun-tahun dalam tradisi alkemi,
tapi
tak mengerti siapa yang terbesar di alam raya ini.
Tiada
raja diraja selain diriku saja
Tiada
yang mahsyur selain namaku saja.
Tapi
mereka dengan kepicikannya mengatakan
Bahwa
mesias baru telah lahir!
Tak
ada mesias ataupun raja baru!
Tak
ada langit yang lebih tinggi dariku!
Akulah
batu pualam yang berkilau
di
gigir malam. Siasatku terhadap istriku
dan
mertuaku, Marianne dan Alexandra
telah
jadi bukti siapa pelanduk siapa singa!
Aku
telah pisahkan rasa takut dari kalut
bahkan
di hadapan anak-anakku sendiri:
dalam
kepongahan Alexander,
dalam
muslihat Aristobulos
dan
Antipater yang malang.
Sebab
langit
telah bersujud di kakiku
dan sealam raya mendapukku sebagai rajanya,
Jadi, apalah arti raja orang hidup itu
Jika sebentar lagi ia mendatangi mati?
Yang sulung dari kekuasaan adalah aku!
Sebab mata yang memandang tanah
dan punggung yang membungkuk
setara sayatan-sayatan kecil daging
domba dikorbankan di hari raya.
Kalian harus tahu Mesias adalah
bualan para pemabuk dan pendudukku
jangan takluk pada buaian semacam itu.
Sebelum kering sungai darah bayi-bayi
Betlehem, sebelum langit kubelah dengan
Pedang seribu hasta, tundukklah di kakiku,
Betlehem, Betlehem yang belia.
Jadilah ternakku yang setia.
Bukan cahaya yang tak pernah melahirkanku.
Hanya bahaya yang mentahirkanku.
Jakarta, 2014
Seperti biasa; anda meramu semua unsur puisi dengan sangat rapih, sederhana namun mewah, santun namun 'nakal'. Ciamik!
ReplyDelete