Seolah seperti gerumbul petang
kau pindah-tempatkan ke cafe itu.
Apakah benar yang kausamarkan
dengan batuk dan decit kursi kayu
di telepon tadi adalah suara pria yang
bertahun-tahun tak mengindahkanmu?
Entah apa yang luput dari perhatian
daftar menu, tatapan remang lampu,
dari laku bibir yang mengajak-serta
nada-nada sumbang itu bertamu.
Betapa lukisan di dinding jadi nisan,
kediaman warna-warna gentayangan.
Arwahnya menenung pupur yang
sembunyikan semburat merah pipimu.
Mungkin kenekatan atas nama cinta
memang seceroboh pelayan baru
yang tiba-tiba memeras bola mataku
sebagai ganti limun yang dipesan
perempuan berkaki jenjang itu,
kaki yang kuhadiahi sepatu mahal tapi
justru dipakainya berjalan menjauhiku.
No comments:
Post a Comment