1/
Jika
mau jujur tak ada yang suka bekerja. Semua pilih berleha-leha tapi uang terus
ada. Aku pikir dahulu manusia tak lahir untuk bekerja. hanya mendapat mandat
menjaga bumi dan segala isinya. Tapi manusia-manusia tetap berperilaku sia-sia.
Lalu Tuhan murka, dan bekerja adalah kutukan.
Sebagai
bakal pria dalam artian sebenarnya, sedari kecil aku sudah diajari ayah cara
bekerja. Entah bertani atau berniaga. Datangnya nafkah harus masuk akal, juga
halal. Dan puisi memilihku, ia memberiku pekerjaan. Tetapi dalam bekerja selalu
ada kejenuhan. Aku membenci diksi bermental penjilat yang hanya bermanis laku ketika ketakutan mendekat. Aku letih harus lembur dan menulis tepat waktu. Aku malas
membereskan dokumen-dokumen kecemasan yang berserakan.
2/
Kepenyairan
adalah pekerjaan serius. Sebab saban hari tugasnya hanya bermain-main dengan kegelisahan.
Aku sering ditugaskan ke negeri-negeri kesunyian hingga tak sempat pulang rumah
dan kehilangan kesempatan makan masakan ibu. Aku sering lembur bersama
rekan-rekan sepi hingga mengorbankan waktu menonton sepakbola bersama ayahku.
Puisi
memang tak membuatku jadi orang yang baik. Tapi bukankah puisi juga yang
membuat ayah ibuku tahu besarnya usahaku untuk jadi anak berbakti? Puisi memang
tak membuatku jadi orang yang kaya. Tapi bukankah puisi juga yang membuatku
nantinya tetap bisa mengucap syukur dalam segala kemiskinanku? Tampaknya
berhenti bekerja memang pekerjaan berat. Tapi aku letih dan tetap akan berhenti menulis puisi.
karena kini,
giliran
puisi yang akan menuliskanku.
No comments:
Post a Comment