pada dada serupa tanggul, aku telentang
sambil menikmati sobekan gula-gula kapas
manis yang buatku harus menahan napas
saat menuliskan ini aku menahan jatuh liur
meski aku lalai karena air mata jatuh liar
jika malam tiba, serta merta aku ingat
kaki yang ditanam tepat di dasar sungai
tampak seperti lelaki, tanpa alas kaki
tumitmu penuh lumpur, mengendapkan
duka, pada ingatan yang paling hancur
pada dada serupa tanggul, aku tak lupa
segala jenis pohon tumbuh di tubuhmu
rumah bagi hewan kecil dan serangga
sedia menghibur, kala arus deras datang
menyapu keriangan, engkau yang bandang
telah lepas satu dasawarsa kita berpisah
tetapi ingatan menuntunku, pulang kembali
padanya, masih membendung arus dingin
lebih dari tangismu yang paling luruh, dulu
pada dada serupa tanggul, aku diperdaya
sungai sempat abai, tak mengikat bening air
limbah dan sampah, dibiarkan menyetubuhi
bayanganku tak lagi mampu berkaca di sana
rupanya ada lebih gelap, dari kenangan kita
kudoakan dalam renta usia ia kokoh di sana
agar penduduk kampung tetap dapat bekerja
sebab ruang tamu mereka bukan gambaran laut
barang elektronik dan perkakas tak perlu hanyut
pada dada serupa tanggul, kau tunggal
tubuhku belajar dari tabah di tubuhmu
serbuan nestapa, harusnya bisa kubendung
derai air mata, semestinya bisa kutanggung
jangan lagi, tak, jangan
aku tersapu, oleh sipu sunyimu
No comments:
Post a Comment