1/ soneta tentangmu yang legam serupa keping logam
ke kotamu aku pulang, kaki memar, karena tapak tanpa ladam
tak kuhiraukan, tak, sebab teringat bibirmu, bibir buah badam
teringat lidahku menari di sana, kerlip cahaya menolak padam
kilau paling silau, memijit mata, menarikan kalam tak teredam
tubuhmu laut maha dalam, di kedalamannya aku turun menyelam
kau gerus arus di nadimu, serupa benang bening, buih menyulam
lakumu ambing gelombang, meresah rusuh ikan kecil, amat seram
ini arusku, jangan kuras aku, senyatanya rasaku, jarum menjeram
lalu kau tenun bayangmu sendiri, di pangkuan malam temaram
kau jahit gilap gelap di asin nisan, diam tabah menjelma param
menghangat jantung, tempat siksa jadi saksi, duka kau peram
hidupmu gemuruh angin angan, sebab nahkoda kapal muram
menujum ihwal di lautan, lalu ditulis pada perkamen buram
sebagai kenang pada bibir curam, kau pernah bersemayam
2/ soneta tentangmu yang bermata rabun dengan sorot racun
berulangkali aku tuturkan padamu, halamanku penuh halimun
kau kelebat kabut, selimuti dahan yang ditinggal kering daun
disesap panas matari, berasap, mengelopak luka merah marun
keriput kulit cemas tumbuh tunas, melunas rumpun-serumpun
menggaris di dahimu gembur urat-urat batang pepohon sukun
pokok-pokok gelisah, yang maha banyak serupa orok rakun
muasal segala mantra lara, kau tanak nestapa di dalam jakun
kau sembur wajah nestapa bak dukun, mementahkanku tekun
sisa gula di bibirmu, ku gali ia, ku gulai bilurmu, o harta karun
meski pandangku mulai kabur, meski mata pindangku merabun
kelak lidahku masih mampu mengecap manis yang kau timbun
engkau lelaki sorot mata beracun, dada terkoyak badai taifun
datanglah payahmu, buat liang di jantungku, susun demi susun
agar terhindar dari luka lakunya, yang menyesak tiada ampun!
3/ soneta tentangmu yang berilmu dan hampir punah
pada remang malam aku ceritakan kisahmu agar tak punah
pernah suatu ketika bola matamu sewarna kesumba merah
regang panah memicing amarah, gelegak benih dari tanah
mengerut alismu, mengurat kelu, meranumkan buah nanah
hausmu akan segala pemahaman baru tak pernah berubah
tekun membuat sarang pada tiap cabang ilmu, naluriah rubah
kau asuh-asah pikiranmu, untuk menajam bilah-bilah resah
meski ketika lelah, getarku tetap kau jadikan tempat rebah
aku sisipkan beberapa melati di jemarimu yang serakah
kelak ia kan menjadi belati ketika duka mencekik kerah
kau yang pasrah, mengikut aliran di tubuhku, tubuh barah
ingin aku merampokmu, agar segala adamu bisa ku jarah
meski aku harus menyayat daging pilumu dulu, searah-arah
nantinya ku makamkan kau layak, agar tak dilupa peziarah
4/ soneta tentangmu debar paling rinai yang tak usai
engkau pria yang pikirannya lebih tua dari sejarah Pasai
kota yang ditinggali kesumat, menyemut, ia kusut masai
kecamuk gelisah memadat, menangkisku serupa perisai
jangan engkau, jangan pemikiranmu lagi yang terbantai
tetap ku gamit lenganmu menuju dataran langit yang landai
kita menjelma tulang daun, menjamu angin dan saling candai
jika letih kita membenamkan diri, seperti dua tangkup teratai
terapung di tenang danau abai, tuk sekejap resahmu ku pindai
jatuhlah! berdebumlah seanggun rerintik hujan sore paling rinai
tuju muara mara, dan menguaplah lagi, terbang setinggi punai
jangan, jangan memaksaku hadir di kepalamu sebagai pelerai
cukup aku pandang dari luar, etalase pikiran, memewah gerai
puisi ini belum diamini, luka ini belum kau imani, ia belum usai!
P.S: Mas Aan, soneta balasan ini saya tulis selama perjalanan Solo-Bandung. Semoga ia kau perkenan singgah juga di Makassar untuk melengkapi sonetamu yang lebih dulu berkunjung tempo hari.
sumpah permainan bahasanya. gue takjub. mudahmudahan kamu tidak bermainmain dengan cinta Dim.
ReplyDeleteah, om Eym bisa aja. Semoga, dan harus, Om. :)
Deletekalian keren
ReplyDeleteterimakasih. :)
ReplyDelete